- Inilah Menteri Wanita Asal Indonesia Yang IQ-nya Hampir Menandingi Einstein
- Inilah Keturunan Tionghoa Yang Jadi Perwira Polisi
- Inilah Masa Sulit Sisi Kehidupan Ainun Habibie
- Inilah 11 Fakta Ainun Habibie Yang Mungkin Belum Anda Ketahui
- Alasan Ainun Habibi Dimakamkan Dimakam Pahlawan
Ketika melihat buku tersebut di sebuah toko buku kecil di kota saya yang tergolong kecil pula, saya langsung menghadap ibu dan memohon agar dibelikan buku tersebut, bapak saya tak ada di rumah karena sedang bekerja di seberang pulau Sumatera di sebuah kota penghasil batu bara. Merengeklah saya ke ibu dan segeralah ibu membelikannya. Mengapa saya ngotot ingin membelinya? Tentulah generasi 90-an sudah mafhum bahwa pada waktu itu Habibie adalah seorang tokoh hebat di bidang pesawat terbang yang tak ada duanya. Tak sedikit kawan kawan di waktu kecil ketika ditanya mereka ingin jadi apa, dengan serta merta mereka menjawab, “Ingin seperti Habibie”. Maka tak salah jika A. Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara menyangka bahwa Habibie adalah sebuah profesi.
Bu Ainun dalam buku yang saya baca tadi mengenang awal awal perkenalannya dengan BJ Habibie yang akrab dipanggil Rudy, “Kami kenal sejak kecil. Dia teman main kelereng kakak saya. Rumah kami berdekatan di Bandung. Di SLTA malah satu sekolah, hanya Rudy satu kelas lebih tinggi. Dia selalu jadi siswa paling kecil dan paling muda di kelas, begitu juga saya. Guru guru dan teman acapkali berkelakar menjodoh jodohkan kami. Yah, gadis mana yang suka diperolok demikian?”.
Namun takdir berkata lain, olok olok itu menjadi kenyataan di kemudian hari, dan terbukti mereka pun menikah. Pasca menikah, Bu Ainun dan Pak Habibie segera bergegas menuju Jerman guna melanjutkan pendidikan doktornya di Aachen setelah sebelumnya menggondol gelar insinyur dengan nilai cum laude rata rata 9.5. Tanggal 27 Juli 1965 Habibie meraih Doktor Ingenieur dengan disertasi bertajuk Bietrag zur Temperaturbeanspruchung der Orthotropen. Nilai rata rata yang dicapai oleh Habibie tentu saja summa cum laude rata rata 10.
Di awal awal kepindahan ke Jerman adalah masa masa sulit bagi pasangan muda ini. Habibie mesti membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Gaji dari bekerjanya hanya 600 DM atau sekitar Rp. 180.000,- sebulan, itu pun mesti dipotong oleh sewa pavilyun yang tergolong mahal sebesar 300 DM. Dengan sisa 300 DM itulah mereka mesti mencukup cukupkan diri melakukan survive di negeri orang. Bu Ainun juga bekerja di salah satu rumah sakit anak dan tak jarang mesti “Saya menjahit sendiri baju kantor dan baju sehari hari”.
Dengan berterus terang-saya mengutipnya dari buku B.J Habibie: Mutiara dari Timur, Habibie menyebut istrinya ini sebagai “Isteri, pendamping, partner, kawan karib, penasihat, dan pemberi ilham”. Kata mutiara yang pernah diucapkan oleh Bu Ainun adalah “Kalau isteri banyak ngomel, rewel, dan cerewet, suami jadi tidak luwes bergaul. Akhirnya tidak bisa maju dalam pekerjaan. Sedapat mungkin suami harus bebas dari keruwetan rumah tangga agar bisa leluasa berpikir tentang pekerjaan”.(regional.kompasiana.com)
Ada berita apa lagi yang mungkin sekarang ingin Anda lihat? Silahkan lihat sekarang berita menarik berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar