- Inilah Menteri Wanita Asal Indonesia Yang IQ-nya Hampir Menandingi Einstein
- Inilah Keturunan Tionghoa Yang Jadi Perwira Polisi
- Inilah Masa Sulit Sisi Kehidupan Ainun Habibie
- Inilah 11 Fakta Ainun Habibie Yang Mungkin Belum Anda Ketahui
- Alasan Ainun Habibi Dimakamkan Dimakam Pahlawan
Tiga tahun lalu, kehadiran sosok Happy sebagai salah-seorang dari 300 taruna Akademi Kepolisian di Semarang angkatan 2007, sempat menyedot perhatian. Dia saat itu merupakan satu-satunya yang berlatar dari etnis Tionghoa.
Sebuah laporan media lokal saat itu menyebut kehadiran Happy itu sebagai "peristiwa langka", atau "sebuah keanehan seorang etnis Tionghoa bekerja di sektor pejabat publik". Laporan-laporan itu menyebut Law Kwan Kwang -nama lain Happy Saputra- sebagai orang Tionghoa Indonesia pertama yang masuk akademi elit kepolisian tersebut.
Padahal menurut Happy, keputusannya masuk akadami kepolisian itu tidak direncanakan jauh-jauh hari. Saat itu dia hampir menyelesaikan masa kuliah strata 1 di Universitas Bina Nusantara.
Seorang sahabatnya yang mendorong agar dia menjadi polisi. Alasannya karena "cara dia bergaul yang berbeda dengan kebanyakan etnis Tionghoa lainnya." Lainnya adalah kemampuannya dalam berbahasa Inggris dan Mandarin.
"Sahabat saya itu mengatakan 'polisi sekarang membutuhkan figur yang berbeda'. Kini menurutnya, polisi butuh pencitraan yang beda. Nggak lagi seperti dulu, berkumis atau berkacamata hitam," ungkapnya.
Walaupun merasa rendah diri, Happy akhirnya mendaftarkan diri. Sempat khawatir karena latar belakang etnisnya, Happy kemudian mampu menepis semua itu.
Dia bersama 300 orang lainnya diterima masuk akademi kepolisian yang dikenal elit itu, dari 12.000 pelamar. Dia juga patut berbangga karena perekrutan akademi kepolisian tahun 2007 itu "dianggap paling bersih dibandingkan proses rekrutmen tahun-tahun sebelumnya".
"Rekrutmen tahun 2007, segala elemen masyarakat mulai wartawan sampai LSM, boleh melihat sampai ke dalam. Mereka bisa melihat penilaian rekrutmen Akpol. Dan saya tidak terdeteksi sedikitpun bahwa 'ini orang titipan' atau 'Happy bayar ke sini untuk masuk Akpol'. Semua tidak terbukti," kenangnya.
Bahkan menurutnya, wartawan sempat mendatangi rumahnya, saat itu. Mereka mengecek kekayaan ibunya, serta meneliti siapa saja yang dikenal ayahnya.
"Ternyata tidak terbukti semua. Inilah yang membuat saya cukup berbangga hati, karena orang tua saya cuma mengeluarkan uang Rp 38.000 untuk membeli meterai tiga lembar, serta uang makan," paparnya.
Tahun lalu, Happy lulus dari akademi itu dengan nilai cemerlang bersama 20 taruna lainnya. Dia bahkan sempat mewakili Akpol untuk pertukaran pelajar ke Korea Selatan dan Jepang.
"Mama selalu bilang `kamu beda, tetapi bukan berarti berbeda'. Dalam arti tak boleh membeda-bedakan diri, walaupun kamu keturunan Tionghoa, tetapi kamu tetap harus berbaur," jelas Happy saat ditemui BBC di asrama Polda Jawa Timur di Surabaya.
Lelaki kelahiran 4 Juli 1984 ini sekarang bertugas di Polres Ponorogo, Jawa Timur, dengan pangkat Inspektur tingkat dua atau Ipda. Happy lulus cemerlang dari akademi kepolisian sebagai 20 orang lulusan terbaik. Dia sempat pula dipilih mengikuti pertukaran taruna kepolisian ke Korea Selatan dan Jepang. (*)
Happy Saputra yang punya nama lain Law Kwan Kwang, mengaku apa yang dilakoninya sekarang tidak datang dengan tiba-tiba. Nasihat sang ibu agar dia berbaur dengan warga mayoritas etnis Betawi di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Kalisari, Jakarta Timur, membuatnya tidak pilih-pilih teman.
"Saya pun berteman dengan tukang ojek (di lingkungan tempat tinggalnya), karena saya suka motor. Sehingga ketika saya dewasa, mereka tahu saya. Mereka bahkan menyebut saya 'Oh itu Si Acong anaknya Soi Song'. Mereka menyebut hal seperti itu bukan untuk menjelekkan, tapi cuma label, karena banyak panggilan saya, seperti Acong, Ahong, Encek, Cokin. Tapi saya senang," jelas Happy seraya tertawa lebar.
Happy Saputra merupakan segelintir warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi perwira polisi, sebuah pilihan yang dibentuk oleh sikap keluarganya yang tidak disibukkan oleh sebutan sebagai kelompok minoritas.
Tiga tahun lalu, kehadiran sosok Happy sebagai salah-seorang dari 300 taruna Akademi Kepolisian di Semarang angkatan 2007, sempat menyedot perhatian. Dia saat itu merupakan satu-satunya yang berlatar dari etnis Tionghoa.
"Kalau penghinaan, berarti saya akan disakiti. Tapi mereka care (perhatian) dengan saya," tandas Happy, anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Syahrial Efay dan Songgowati Tjoeng ini.
Sikap seperti ini kemudian mengantarnya masuk sekolah menengah atas negeri, yang lebih dari 85% siswanya beragama Islam dan bukan etnis Tionghoa. Di SMA Negeri 98 ini, Happy kemudian bersahabat dengan teman-teman Muslim. Salah-seorang sahabatnya itulah yang kemudian mendorongnya masuk akademi kepolisian, setelah dia meraih titel sarjana dari Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara.
Pergaulannya yang melampaui latar etnis, juga membuat Happy dan keluarganya tidak begitu khawatir ketika kerusuhan berbau etnis meledak tahun 1998 di sebagian wilayah Jakarta. Di saat kepanikan timbul melanda kelompok etnisnya, ibunya, Songgowati Tjoeng kembali menjadi sandaran Happy yang saat itu beranjak remaja. Juga teman-temannya secara tulus memberi perlindungan terhadap dirinya.
"Karena sejak kecil bermain dengan mereka, sehingga mereka tahu bahwa keluarga saya tidak seperti di media massa yang menutup diri. Dan terbukti, saat kerusuhan itu, kawasan tempat saya tinggal aman-aman saja," jelasnya.
Kendati demikian, Happy sebagai warga etnis Tionghoa mengaku pernah mengalami perlakuan diskriminatif. Dia memberi contoh sikap seorang pedagang di sebuah pasar di Jakarta Selatan yang menaikkan harga barang setelah melihat wajahnya. Juga pengalamannya, diperlakukan diskriminatif oleh seorang juru parkir.
"Kalau parkir, biasanya mereka memaksa untuk meminta lebih. Hal-hal seperti itu membuat saya sedih," katanya.
Namun Happy buru-buru menambahkan. "Tapi kembali lagi, karena konsep saya kuat, ya sudahlah saya anggap ini sebagai cerita 'lain' di Jakarta 'lain' yang harus saya pahami. Saya tak boleh menyamakan (kasus ini) dengan di Kali Besar. Suatu saat nanti saya bisa atasi semua ini," tegasnya.
Dia menambahkan langkah seperti ini juga dia terapkan di lingkungannya. Sebagai minoritas, Happy mengaku tidak mau memakai kacamata kuda dalam melihat sesuatu.
"Dalam arti hanya melihat satu sisi, seolah-seolah semua orang Indonesia sepert itu. Padahal tidak! Nah, kita harus memberitahu mereka bahwa Indonesia tidak seperti itu." (*) (TRIBUNNEWS.COM)
Ada berita apa lagi yang mungkin sekarang ingin Anda lihat? Silahkan lihat sekarang berita menarik berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar